CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEMOK MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEMOK MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEMOK MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak27 Semuanya orang didalamnya perlu bertarung serta berkorban agar tak tergusur, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun berarti tidak cuman itu. Denok pun mempunyai arti montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda ialah seorang penari, dan seringkali ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya serta Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak punyai banyak hutang dikarenakan edan judi, dan beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih lantaran Bapak telah tak ada, dan juga kebingungan sebab beberapa waktu seusai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil alih broker judi yang berikan hutang pada Bapak. Kami gak punyai tujuan tempat, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, moga-moga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, tandingan banyak. Pada akhirnya selesai cukuplah lama melihat beberapa peluang yang ada, Simbok memilih untuk menggunakan ketrampilan kami. Dengan modal busana dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah bersiap ujian akhir SMA atau menempuh tahun awal kuliah, dan yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan anyar, menawarkan ketrampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat peroleh sekian lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak ringan pun cari uang dengan sebagai berikut, paling-paling yang kami peroleh cukup buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Dan tidak di semuanya tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang siap bayar, terkadang kami malahan ditendang atau dihardik. Seusai lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, yang datang dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat buat mereka ingat daerah semasing. Kedatangan kami dari sana selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walau sering helai-lembar itu diserahkan kepada kami oleh kurang santun misalkan dengan disembunyikan ke busana kami. Apa saya dan Simbok betul-betul memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Sebagai anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok  sejak dulu terus membimbing serta memperingatkan saya buat menjaga badan meskipun melalui langkah simpel, jadi meskipun sawo masak, kulit saya terus mulus dan tak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul  sich kalaupun disebut saya montok. Tak tahu mengapa, walau rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya bisa saja ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya selalu was-was dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun cepat karena dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang menganggapnya demikian. Bertanya-tanyanya, kendati atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, kalaupun Simbok itu benar-benar elok. Hingga usia begitu juga beliau masih elok. cerpensex.com Manalagi jika sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Semuanya orang nengok serta gak saksikan apapun kembali. Saya sendiri terus berasa tidak baik lho bila tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok seluruhnya ngomong saya elok. Saya berpikir, itu sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai berbeda warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberikan gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu buat puas yang menonton." WAJIB 4D


Lama-kelamaan saya biasa pun pakai dandanan begitu, jadi saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari kejadian penganten, nanti jika nikah betulan perlu kayak apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun benar-benar yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, malapetaka ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya cemas, beberapa orang disekitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok tidak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit sehabis 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya sejak mulai ketabrak pun Simbok telah tak ada asa, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga sampai tidak sampai hati saya menyaksikannya. Masa itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Namun apa itu betul atau gak, saya tak mau tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penguburan, justru harus berutang kemanapun. Saya gak sanggup menyelenggarakan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewa saja karena begitu berduka. Kemungkinan setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok,  kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis dan saya  harus lawan banyak tukang tagih hutang yang tak mau tahu kesukaran saya . Sehingga, satu minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya jadi berjumpa dengan ibu yang miliki kontrak. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak mempunyai uang, jadi saya hanya dapat omong maaf, serta sang ibu malahan ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEMOK MENJUAL DIRI


Naasnya, hari itu pasar rada sepi, dan sehabis dua jam saya baru bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala banyak ingatan, bagaimana triknya biar kelak kalaupun pulang telah miliki cukup uang buat bayar kontrak. Belum beberapa hutang yang lain. Saat siang, saya tengah jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu cuman mengenal beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali 2x saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya berikan kami uang namun beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di dan berada di belakang. Tokonya tengah sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya harus omong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk cost penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya kesal tetapi tak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tidak dapat dapat uang ini hari untuk bayar sewaan. Jika berjualan, saya nggak punyai apapun, harus jual apa?"


Tetapi lalu tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu gak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa tujuannya itu. WAJIB 4D


"Kalaupun kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa perlu lewat langkah semacam ini? Namun bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya gak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga tidak terdengaran. Jika saja gak ketutupan bedak, barangkali telah nampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu melihati lantai, tidak berani mengangkut kepala, namun kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang memperlihatkan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mencermati sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Kemungkinan ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tidak pernah mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya terus ragu-ragu. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Bila tidak mau ya telah," tukasnya dengan suara kurang puas.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada lelaki terang-terangan ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu tadi disimpan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal mulanya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat dapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh uang sejumlah itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Sebab barangkali barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan menguak kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" tuturnya.


Juragan pula menggenggam paha saya masih sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, serta saya tambah deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya telah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa sebaiknya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun gak tahu mengapa, saya  kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok ini jadi? Juragan terus terusan menyaksikan sekujur badan saya, sembari beri pujian.


"Mari donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama